Membaca, Terapi Jiwa Penangkal Hoaks
Membaca, Terapi Jiwa Penangkal Hoaks
Yogyakarta - Membudayakan literasi membutuhkan komitmen kuat dari semua lapisan, mulai dari penentu kebijakan hingga masyarakat itu sendiri. Perpustakaan yang bertransformasi menjadi upaya strategis untuk mendorong kesadaran berliterasi yang inklusif.
Hal ini menjadi tajuk utama talkshow dalam Peer Learning Meeting Nasional 2023 dengan tema Transformasi Perpustakaan untuk Masyarakat Literat yang Berbudaya di Hotel Alana, Yogyakarta, Rabu (20/9/2023).
Adapun narasumber yang hadir antara lain Direktur Agama, Pendidikan dan Kebudayaan pada Kementerian PPN/Bappenas Didik Darmanto, Direktur Utama Penerbitan Gramedia Pustaka Utama Suwandi Sandiwan Brata serta Lektor Kepala Sekolah Tinggi Driyarkara Jakarta Augustinus Setyo Wibowo. Acara tersebut dimoderatori Gutriyana dan Masnur Eterida Cornelia.
Bagi Augustinus, membaca merupakan hal yang menyenangkan. Namun secara umum, belum semua masyarakat Indonesia dapat merasakan kenikmatan dalam berliterasi.
Menurutnya, budaya membaca masyarakat Indonesia masih harus ditingkatkan. Di sinilah dibutuhkan peran besar perpustakaan, khususnya di pelosok desa, untuk membudayakan minat baca.
"Dari membaca akan tercipta hal-hal baru. Bisa membantu untuk berkreativitas dan membuka lapangan pekerjaan bagi banyak orang," ujarnya.
Setyo menjelaskan, hal ini merupakan terobosan yang bagus bagi perpustakaan di daerah.
"Selain mencari buku yang berguna, tapi juga membantu untuk mengembangkan diri dengan menolong orang lain,” ucapnya.
Adapun dengan membaca, sambung Setyo, selain merangsang perspektif cara berpikir positif, juga menjadi cara efektif dalam terapi jiwa.
Ia menceritakan ada salah satu warga yang nyawanya terselamatkan karena membaca. Disebutkan bahwa membaca dapat memengaruhi pikiran dan suasana hati.
"Dengan kondisi lagi hamil pada saat itu, beliau sempat ingin bunuh diri. Tapi usai membaca buku tentang filsafat, si ibu pada akhirnya mengurungkan niat tersebut. Jadi, membaca bisa mengubah pikiran dan hati kita. Sehingga tidak ada lagi namanya baperan," ungkapnya.
Menurutnya, budaya literasi bisa berkembang dengan baik di Indonesia meski membutuhkan waktu yang cukup lama. Dia memberi contoh di luar negeri, di mana membaca buku menjadi hal yang biasa.
"Kalau di negara-negara barat, masyarakat di sana sangat haus akan ilmu pengetahuan, ada rasa social of knowledge. Banyak dicari lewat buku dan memproduksi pengetahuan. Berputar di sekitar ilmu pengetahuan," rincinya.
"Indonesia belum mengarah ke sana. Contohnya usai pulang kerja, lebih banyak ngobrol. Kadang nonton televisi. Meski begitu masih ada satu atau dua orang yang membaca. Haus akan ilmu pengetahuan," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Utama Penerbitan Gramedia Pustaka Utama Suwandi Sandiwan Brata menjelaskan, membaca seharusnya bukan untuk belajar saja, tapi juga mengajak orang untuk melakukan hal yang sama.
"Kalau mengharapkan orang-orang membaca, saya harus memberi contoh dulu. Motif saya tidak sekadar sendiri belajar. Tapi mempengaruhi sekitar untuk mengikuti kebiasaan saya. Kita harus melakukan itu," ujarnya.
Namun begitu, Suwandi mengaku sulit menerapkan hal itu kepada anak-anak. Pengaruh sesama anak dinilai lebih kuat dibandingkan mengikuti yang diajarkan orang tua mereka.
"Saya kenal teman-teman anak saya. Lalu kenal juga orang tua mereka. Langkah pertama yang saya lakukan adalah memberikan informasi tentang buku bacaan yang bagus. Dengan harapan melakukan kegiatan literasi di rumah, dan dilihat anak-anak mereka," bebernya.
Literasi, tegasnya, menjadi faktor pemersatu bangsa. Seperti para pendiri bangsa yang berasal dari latar belakang berbeda.
"Ada yang dokter, insinyur, guru agama, tokoh partai, tokoh perjuangan dan lainnya. Mereka sama-sama suka membaca. Bahkan tokoh dunia seperti Bill Gates, Steven Jobs serta Oprah Winfrey juga melakukan hal yang sama," jelas Suwandi.
Liputan6.com