Sejarah Mirit Kebumen, Dulu Sempat Dijuluki Daerah Hitam
Sejarah Mirit Kebumen, Dulu Sempat Dijuluki Daerah Hitam
KEBUMEN – Mendengar nama Mirit Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, banyak orang yang keder. Maklumlah, bertahun-tahun daerah di Kebumen selatan itu identik dengan kekerasan, kriminalitas, dan pencoleng. Tak khayal, konon Mirit kerap dijuluki daerah hitam.
Masyarakat di kawasan pantai selatan Kebumen itu memang memiliki karakter spesifik. Kemiskinan, kekumuhan, dan kriminalitas seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari keseharian mereka.
Karena itu, jangan menaruh binatang piaraan seperti sapi dan kambing serta benda berharga sembarangan. Lengah sedikit saja, barang-barang itu akan cepat berpindah tangan. Hasil tanaman semacam cabai pun menjadi sasaran pencurian.
Salah satu desa di Kecamatan Mirit yang pada masa lalu dikenal menjadi sarang penjahat dan tempat pelarian pencoleng adalah Desa Rawa. Jika masih ingin bukti, bertanyalah pada para petugas reserse di Polres Kebumen.
Desa seluas kurang lebih 20 hektare dan berpenduduk sekitar 1.900 jiwa itu memang unik. Desa itu berada di ujung timur Kebumen, di tepi Sungai Wawar yang lazim disebut Kali Rawa.
Desa itu berimpitan dengan muara Kali Rawa dan menjadi pembatas wilayah Kebumen serta Purworejo. Malahan di Desa Rawa ada satu lokasi seluas sekitar 3 ha yang masuk Kabupaten Purworejo. Tak mengherankan jika secara tradisional, dua desa, Rawa di Kebumen dan Nambangan Grabak Purworejo, memiliki keterkaitan.
Dulu, hubungan itu saling ”menguntungkan” untuk kepentingan kriminalitas. Seingat Sowikarto (74), asal Dusun Jompong Rawa, para pencoleng dari desanya dan Nambangan sangat ditakuti warga desa lain.
Dia menyebut tokoh-tokoh bandit seperti Mbah Mangku atau Pak Hudo sangat disegani. Sekarang mereka sudah meninggal. Sowikarto mengibaratkan dua desa yang dibatasi sungai itu salingguwang jupuk (membuang dan mengambil). Maksudnya, jika pencoleng di wilayah kulon kali atau Desa Rawa menjarah atau merampok, orang Nambangan di wetan kali atau di Purworejo akan mengambil barang untuk menghilangkan jejak.
Begitulah sebaliknya, jika orang Nambangan beraksi di Purworejo, hasilnya akan dilarikan ke Rawa, menyeberangi sungai sehingga aparat keamanan kehilangan jejak. Mengingat kondisi alam dan sarana terbatas, kala itu polisi sangat kesulitan melacak para pelaku.
Pengalaman menarik diungkapkan Ny Kustinah (75), janda asal Desa Roworejo, Kecamatan Grabag, Purworejo. Beberapa tahun silam rumahnya kecurian. Barang-barang berharga nyaris habis.
Wanita itu dengan suaminya, Abdullah, diajak melacak ke kulon kali oleh seorang pamong, menyeberangi Kali Rawa. Namun barang yang dicara tak pernah bisa ditemukan.
”Sebab yang mengajak saya ternyata teman pencoleng itu,” kenang Ny Kustinah.
Warisan Sejarah
Orang Mirit tak hanya ditakuti warga Kebumen dan sekitarnya. Setidaknya, menurut pengakuan peneliti dari Fisipol UGM Drs Agus Heruanto Hadna MSi, orang-orang Yogyakarta pun kecut mendengar nama Mirit.
Berdasarkan catatan sejarah, daerah Kebumen dan sekitarnya subur dan pernah menjadi pemasok logistik atau lumbung pangan bagi Mataram. Dulu lalu lintas Kebumen-Yogyakarta sering melewati sungai di pesisir selatan.
Tahun 1870-an ada tokoh lokal yang dianggap berjasa memberantas para pencoleng. Merujuk pada Babad Ambal, saat Perang Diponegoro (1825-1830) ada berandal yang ditakuti. Puja atau Gamawijaya namanya. Tokoh ini sangat terkenal di daerahurut sewu (pantai selatan), mulai dari Karangbolong, Rawa, sampai Kasultanan Yogyakarta.
Salah satunya adalah makam mbah Lancing
Cungkup Makam Mbah Lancing bergaya joglo dengan dinding kayu di kiri kanan berbentuk sepasang daun pintu berukir, mengapit pintu masuk makam yang sebenarnya. Tengara Cagar Budaya di sebelah kiri cungkup berbunyi “Makam Mbah Lancing Mirit”.
Bagian dalam cungkup dengan pilar-pilar kayu berukir, yang ternyata tidak ada makam di dalamnya. Di ujung ruangan ada tulisan “Makam Eyang Agung Lancing”, dengan kain beludru digelar di atas lantai di kiri kanan ruangan sebagai tempat duduk peziarah.
Rupanya Makam Mbah Lancing justru ada di belakang cungkup, di tempat terbuka tanpa atap. Entah karena permintaannya sendiri atau ada kisah lain yang saya tidak tahu tentang pengaturan yang cukup unik ini. Mbah Lancing adalah seorang wali. Ia dianggap berperan penting dalam penyebaran Islam di pesisir selatan tanah jawa, dan bersama Mbah Kyai Marwi merintis permukiman di Desa Mirit. Pada Jumat Kliwon para peziarah biasanya berdiam di makam sampai subuh, untuk membaca tahlilan dan Surat Yasin.
Makam Mbah Lancing yang sangat unik, dengan tumpukan kain batik menggunung di atas pusaranya. Di sebelah Makam Mbah Lancing adalah makam ayahnya yang bernama Kyai Ketijoyo. Satu makam lagi terpisah di sebelah kanan ditutupi kain hijau adalah makam Kyai Dipodrono, putera Wonoyuda Halus. Mbah Lancing terhitung paman dari Wonoyudo Halus (Wongsojoyo V).
Tumpukan kain batik yang disebut sinjang itu berasal dari para peziarah yang terkabul doanya, sebagai ungkap syukur. Orang harus datang ke juru kunci jika hendak meletakkan sinjang di atas Makam Mbah Lancing, dan sinjangnya tidak boleh dibeli di pasar. Juru kunci akan meminta seorang wanita, dengan syarat-syarat tertentu, untuk membatik sinjangnya.
Konon semasa hidupnya Mbah Lancing senang memakai kain batik untuk bebedan (lancingan), sehingga kemana pun pergi ia selalu memakai lancing, dan karena itu ia disebut Mbah Lancing. Karena itu pula tampaknya persembahan untuk Mbah Lancing dilakukan dengan menumpuk kain batik di atas pusaranya.
Pada silsilah disebutkan bahwa Brawijaya V dengan Dewi Penges (Reksolani) berputra Ario Damar (Adipati Palembang). Ario Damar dengan Putri Cempo (Campa) berputra Ario Timbal (Raden Kusen, Adipati Terung). Raden Kusen inilah yang membunuh Sunan Ngudung (Ayah Sunan Kudus), setelah sebelumnya Sunan Ngudung membunuh Ki Ageng Pengging Sepuh (Prabu Handayaningrat/ Kakek Djoko Tingkir) dalam perang antara Majapahit melawan Demak. Putri Campa sebelumnya adalah istri Brawijaya V dan berputra Raden Patah.
Raden Kusen berputra
1- Ki Ageng Yudotaligrantung
2- Raden Carangnolo.
3.Raden Carangnolo berputra
4.Wonoyudo Inggil (Wongsojoyo I, Kyai Wirotanu). Wonoyudo Inggil berputra
5.Kyai Ketijoyo (ayah Mbah Lancing),
6.Wonoyudo Lante (Wongsojoyo II), dan
7.Wonoyudo Pamecut (Wongsojoyo III).
Adapun nama asli Mbah Lancing adalah Abdulloh iman yang di sebut Kyai Baji. Di sekitar Makam Mbah Lancing juga ada makam lain yang sering dikunjungi peziarah, yaitu Makam Eyang Wongsojoyo, Makam Eyang Wonoyudo Inggil, dan Makam Eyang Wonoyudo Kantong. Namun saya hanya sempat berkunjung ke Makam Eyang Wongsojoyo dan Makam Eyang Wonoyudo Inggil.(24/*).
Sumber : https://wiyonggoputih.blogspot.com/