Sejarah Singkat Panjer Kebumen Dulu Kadipaten Kuno
Sejarah Singkat Panjer Kebumen Dulu Kadipaten Kuno
KEBUMEN – Bagi sebagian masyarakat pada umumnu, mungkin masih banyak belum tahu tentang asa usul Kelurahan Panjer Kabupaten Kebumen. Dulu, Panjer merupakan sebuah Kerajaan/Kadipaten Kuno yang kemudian berubah nama menjadi Kabupaten Kebumen pada tahun 1936.
Dikuti dari halamam website kebumen2013.com, pada saat Kadipaten masih bernama Panjer, kotarajanya berada di Panjer. Dimana, kini menjadi kompleks Mexolie/Sarinabati. Ini dibangun oleh Belanda pasca pembumihangusan Pendopo Agung Panjer pada tahun 1831 dan mulai beroperasi dalam skala besar pada tahun 1851. Mexolie Kebumen kapasitasnya sama dengan Mexolie di Amsterdam, Kediri dan Blitar.
Keberadaan Kadipaten Panjer
1.Babad Kadiri
Di dalam Babad Kadhiri disebutkan adanya Kadipaten Panjer sebagai sebuah wilayah yang ramai serta dikenal pula adanya Sendang Kalasan yang pada masa itu terkenal khasiatnya untuk media pengobatan serta sebagai tempat ritual mandi/pembersihan diri para Raja Jawa.
2.Panjer Zaman Majapahit
Pamokshan Maha Patih Gajah Mada/Eyang Sabda Palon di Panjer (berada di dalam kompleks mexolie Panjer) menguatkan bahwa kabupaten Panjer sejak dahulu telah memiliki fungsi penting dalam ranah Kenusantaraan. Salah satu penguat keberadaannya adalah situs Punden Majapahit (tempat dimurcakannya pusaka – pusaka penting Majapahit) di sawah Majapahit yang berada di desa Sadang Wetan.
Nama daerah Sadeng tersebut dalam kitab Nagarakertagama dan Pararaton. Di dalam Nagarakertagama disebutkan bahwa Raja Tribuwana memerintah, didampingi suaminya Kertawardana menumpas pemberontakan di daerah Sadeng dan Keta. Sedangkan dalam Pararaton disebutkan bahwa terjadi pesaingan antara Gajah Mada dan Ra Kembar dalam memperebutkan posisi panglima penumpasan Sadeng.
Tribuwana akhirnya berangkat sendiri menyerang Sadeng. Dalam riwayat lain disebutkan pula bahwa setelah Gajah Mada berhasil meredakan pemberontakan Sadeng, dia kemudian dilantik menjadi Patih Amangkubumi. Dia juga mengucapkan Sumpah Palapa pada pelantikannya itu.
Beberapa Nama Sadeng
Nama Sadeng terdapat di beberapa daerah antara lain:
Sadeng di wilayah Bogor Jawa Barat
Sadeng di wilayah Gunung Pati di Semarang
Sadengrejo di daerah Pasuruan
Sadang di daerah Kebumen
Analisis kelayakan
Sadeng di wilayah Bogor; menurut penulis, daerah ini sangat tidak sesuai dengan Sadeng yang dimaksud dalam riwayat Gajah Mada. Hal ini didasarkan pada logika bahwa hingga masa terakhir Gajah Mada menjabat sebagai Maha Patih, daerah Jawa Barat belum sempat ditaklukan Majapahit.
Hal ini disebabkan karena diberhentikan dengan segeranya Gajah Mada sebagai Maha Patih akibat peristiwa perang Bubat. Sadeng Bogor kemungkinan merupakan wilayah dari kerajaan Sunda Pajajaran dengan rajanya Linggabuwana pada saat itu.
Sadeng di wilayah Gunung Pati Semarang; daerah ini juga bukan daerah yang dimaksud dalam riwayat, sebab hingga kini belum ada riwayat penemuan bekas bekas kejayaan pemerintahan kerajaan di daerah tersebut.
Sadengrejo di wilayah Pasuruan; daerah ini juga sangat kecil kemungkinannya sebagai daerah yang dimaksudkan dalam riwayat Gajah Mada. Jika di wilayah tersebut merupakan tempat terjadinya pemberontakan, tentunya sudah sejak dahulu diteliti oleh para pakar sejarah. Apalagi daerah tersebut sangat dekat dengan pusat pemerintahan Majapahit.
Sadang di wilayah Kebumen;Sadang di daerah ini lebih yang mempunyai kelayakan sebagai tempat yang dimaksud dalam riwayat Gajah Mada itu. Analisis objektif didasarkan pada:Kata Sadang berubah menjadi Sadeng sebagai akibat proses kebahasaan, seperti juga yang terjadi pada kata Bra Wijaya yang berubah menjadi Bre Wijaya, Mataram menjadi Metaram, Dhi Hyang menjadi Di Hyeng/Dieng, dan lain – lain.
Adanya situs Punden Majapahit yang lokasinya berada di tengah sawah Majapahit.
Banyaknya tokoh – tokoh Majapahit yang menghabiskan waktu hidupnya di daerah Kebumen, bahkan berlanjut hingga masa kerajaan Mataram. Beberapa tokoh tersebut antara lain; Senopati Majapahit Gajah Oling (makam di Gombong), Syekh Baribin/Panembahan Grenggeng (salah satu putra dari Brawijaya terakhir, makam di Grenggeng).
Gajah Mada (Moksha di Panjer, kini berada dalam kompleks eks pabrik Mexolie/ Sarinabati Panjer Kebumen), Petilasan Danang Sutawijaya/Panembahan Senopati (di Kaligending), Lumbung padi terbesar dan pertahanan militer Mataram Sultan Agung Hanyakrakusuma (di Panjer), Pertahanan dan kekuatan terbesar Dipanegara di Panjer, Pertabatan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Sultan Amangkurat I dan Dipanegara (di Panjer),
Pamokshan Singapatra di Kebumen, Petilasan Untung Surapati (di Karanggayam), Makam Pangeran Bumidirjo (di Kutowinangun), dan masih banyak lagi lainnya.
Peristiwa perjalanan ke barat dalam rangka pelamaran putri Raja Pajajaran oleh Kerajaan Majapahit tentunya melalui jalur Urut Sewu Kebumen yang sejak dahulu kala telah dikenal sebagai jalur utama penghubung berbagai daerah di pulau Jawa khususnya di wilayah selatan. Artinya wilayah Kebumen yang pada waktu itu kemungkinan memiliki nama lain seperti misal Panjer, Sadang, Galuh/Sigaluh dan lain – lain telah dikenal oleh Majapahit.
Adanya bekas Asistenan jaman Belanda di wilayah Sadang Wetan membuktikan bahwa di daerah tersebut pasti memiliki keistimewaan tersendiri, sebab telah menjadi pola dari Belanda dalam tiap mendirikan tempat pemerintahan dan tempat – tempat pentingnya pasti selalu menempati wilayah yang merupakan bekas kejayaan masa lalu nusantara.
Kata Pemberontakan dalam konteks Pemberontakan Sadeng, bisa diartikan sebagai subjektifitas kedaerahan mengingat kitab tersebut ditulis oleh wangsa atau penguasa yang dominan pada waktu itu. Artinya ada kemungkinan juga bahwa Sadeng sebetulnya merupakan wilayah mancanegara dari Majapahit atau kerajaan tersendiri yang berusaha ditaklukan oleh Majapahit.
Karena melakukan penolakan atau perlawanan, maka Sadeng kemudian dianggap sebagai pemberontak. Sebuah wilayah atau pemerintahan berani melakukan pemberontakan pastinya telah memperhitungkan kekuatan pihak yang akan diberontak, artinya Sadeng telah memperhitungkan kekuatan Majapahit yang saat itu telah menjadi kerajaan yang besar, dapat diartikan juga bahwa Sadeng bukanlah wilayah dengan kekuatan yang kecil.
- Panjer Zaman Demak dan Pajang
Keberadaan Panjer secara implisit juga disebutkan dalam babad Kejayaan Kataram. Dalam babad tersebut disebutkan bahwa Ki Ageng Pemanahan sebelum mendirikan desa Mataram yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Mataram, meminta pertimbangan terlebih dahulu kepada Ki Gedhe Karang Lo (salah satu tokoh penting dari Karang Lo/Karanggayam waktu itu). Ini berarti bahwa Panjer telah memiliki tata pemerintahan dan menduduki fungsi penting dalam ranah pemerintahan berskala luas pada masa itu (Demak dan Pajang).
- Panjer Zaman Mataram Sultan Agung
Catatan Rijklof Van Goens, seorang sejarawan Belanda yang lima kali mengunjungi Mataram mencatat bahwa Mataram mengalami jaman keemasan di bawah kepemimpinan Sultan Agung Hanyakrakusuma yang ketika itu memiliki lumbung padi terbesar di Panjer dengan bupatinya yang bernama Ki Soewarno.
Usaha penyerangan Belanda terhadap lumbung terbesar Mataram Sultan Agung yang berada di Panjer melalui Urut Sewu (Petanahan) berhasil digagalkan oleh Ki Badranala bersama Ki Singapatra (mertua Ki Badranala) dimana Ki Badranala kemudian dijadikan Senopati pada ekspedisi penyerangan Mataram ke Batavia dan berhasil memporak-porandakan pertahanan Belanda di benteng Solitude (kini menjadi Masjid Istiqlal). Penyerangan Pasukan Panjer berikutnya tertunda karena Batavia dilanda wabah penyakit, sehingga pasukan Panjer gelombang kedua berhenti di Ajibarang.
- Panjer Zaman Amangkurat Agung (I)
Peristiwa perginya Pangeran Bumidirjo dari Kraton Mataram ke Panjer (akibat berselisih dengan Amangkurat I) diterima baik oleh Ki Gedhe Panjer. Selanjutnya Pangeran Bumidirdjo diberi tanah di tepian sungai Luk Ula untuk bermukim. Pemberontakan Trunojoyo pada tanggal 2 Juli 1677 berhasil merebut kraton Mataram dari Amangkurat I dan mengakibatkan Raja Mataram ini mengungsi ke Panjer hingga kesehatannya membaik.
- Panjer Zaman Dipanegara
Pertahanan terbesar Pangeran Dipanegara di Kabupaten Panjer hingga masa perundingan pertama di Roma Kamal Jatinegara (Sempor) dan perundingan kedua di Kejawang sebagai masa akhir peperangan Pangeran Dipanegara melawan Belanda pun melibatkan pasukan Panjer di bawah kepemimpinan Kolopaking IV (Penguasa Panjer saat itu) sebagai kekuatan utamanya (baik pasukan, logistik, maupun persenjataan) yang mengakibatkan peristiwa penyerangan besar – besaran kotaraja Panjer sebagai pusat pemerintahan hingga pembumihangusan Pendopo Agung Panjer oleh Belanda saat itu.
Selanjutnya pemerintahan transisi Panjer pun didirikan di desa Baniara Karangsambung. Perlawanan sengit pasukan Panjer menyebabkan Belanda mendatangkan bala bantuan yang cukup banyak dari Batavia dan luar Jawa yang kemudian dalam perjalannya terbentuklah sebuah Benteng di Gombong sebagai pertahanannya. Pada awal terbentuknya kabupaten Banjarnegara, Belanda mengambil tokoh Panjer sebagai bupati di sana hingga beberapa keturunan (Jayanegara I/Atmadipura, Jayanegara II/Jayaamisena, dan Soemitro Kolopaking Purbanegara).
- Panjer Menjelang Kemerdekaan
– Tentara Australia menggunakan Pabrik Tebu/Gedung Gembira Panjer sebagai markas saat Perang dunia I.
– Kempetai Jepang Kebumen menggunakan perumahan Mexolie Panjer sebagai markasnya (kini Kodim 0709 Kebumen).
- Panjer Setelah Kemerdekaan
– Peristiwa Perang Kemerdekaan juga menjadikan Panjer sebagai tempat yang sangat berarti. Batalyon III Resimen Moekahar yang kemudian menjadi Batalyon 64 Kebumen bermarkas di Mexolie/Sarinabati Panjer.
– Satu-satunya akses dari Gombong menuju Yogyakarta pada masa Agresi Militer Belanda II (19 Desember 1948) adalah jembatan kereta api Panjer/Jembatan Renville. Jembatan ini gagal di trekboom oleh Letnan II DS. Iskandar sehingga Belanda pun segera masuk ke Panjer dan menggagalkan aksi bumihangus Mexolie sebagai pertahanan terluar TNI. 4 pejuang RI pelaksana aksi bumi hangus ditembak mati di lapangan tenis Panjer.
Selanjutnya Belanda menguasai ibukota Indonesia di Yogyakarta pada sore harinya.
– meletusnya pertempuran AOI melawan TNI bermula di areal Mexolie Panjer (utara stasiun kereta api Kebumen),
– dll
Data – data tersebut di atas membuktikan betapa pentingnya Kadipaten Panjer/Kebumen yang beribukota di Panjer dari masa ke masa.
Kadipaten – kadipaten, kademangan – kademangan dan Katumenggungan – katumenggungan yang memiliki otoritas pemerintahan tersendiri dan berada di luar wilayah sebuah kerajaan sesungguhnya merupakan kerajaan dan digolongkan dalam kategori Mancanegara.
Sebagai contoh adalah desa Mataram yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan kerajaan Mataram dikarenakan mempunyai pemerintahan tersendiri. Adapun Kadipaten Panjer yang sejak jaman Kediri telah dikenal ramai sesungguhnya merupakan Kerajaan Panjer (sayang riwayatnya telah dihilangkan dan diganti dengan Babad-babad baru yang bersifat menumpuk sejarah asli).
Hal ini didukung oleh fakta-fakta bahwa secara Genetika Historis, Panjer dari masa ke masa selalu mempunyai peranan penting. Bahkan para Raja dan tokoh-tokoh besar Jawa saat itu memilih Panjer sebagai tempat untuk mengungsi, bertahan ataupun moksha.
Bekas Kerajaan Kediri yang hilang setelah Belanda mengubahnya menjadi Pabrik Mexolie dan beralih fungsi menjadi pabrik Gula Mamenang Kediri kiranya memiliki persamaan nasib dengan Kerajaan Panjer Kuno yang kemudian diubah menjadi Pabrik Mexolie/Minyak Kelapa Sarinabati Panjer.
Satu hal yang sangat disayangkan adalah “Nyaris hilangnya riwayat Panjer Kuno baik dalam masyarakat di wilayah tersebut maupun dalam pengetahuan masyarakat Kabupaten Kebumen pada umumnya”.
Kurangnya perhatian dan pemeliharaan serta perusakan terhadap situs bangunan peninggalan bersejarah dan budaya masa lampau yang terdapat di daerah Panjer tentunya sangat memprihatinkan, mengingat Panjer adalah cikal bakal berdirinya Kabupaten Kebumen yang telah dikenal sejak 1000 tahun yang lalu sebagai salah satu wilayah yang diperhitungkan dalam ranah nasional. Meskipun kotaraja Panjer kini telah berubah menjadi desa/kelurahan, Panjer tetap khas dengan rasa dan suasana masa lampaunya.
Dilatarbelakangi sejarah tersebut di atas, maka sudah seharusnya sebagai warga Panjer khususnya dan warga Kebumen pada umumnya untuk menjaga riwayat besar Panjer yang kini beralih nama menjadi Kabupaten Kebumen agar tidak hilang baik karena sengaja ditumpuk sejarahnya oleh para pendatang maupun karena ketidakperdulian pemerintah dan masyarakatnya akan hal sejarah, adat-istiadat, dan budaya yang mungkin kurang menguntungkan secara finansial.
Salah satu cara untuk mempertahankan riwayat tersebut (meski tinggal sebatas riwayat dikarenakan situs Mexolie/Sari Nabati rencananya segera diubah total menjadi kawasan wisata dan perhotelan) adalah dengan diadakannya “Kirab Budaya Ruwat Bumi Situs Kerajaan Panjer Kuno dan Kirab Pusaka/Tosan Aji Kebumen” di desa Panjer setiap tahun yang jatuh pada Bulan Sura/Muharram pada hari yang telah ditentukan (Selasa Kliwon, Rabu Kliwon, atau Jumat Kliwon), dimana tujuan dari kirab tersebut adalah:
Untuk meningkatkan kecintaan dan semangat nasionalisme generasi muda, warga dan seluruh keturunan Panjer khususnya serta warga Kebumen pada umumnya.
Mengenang Panjer dan fungsi pentingnya di masa lalu dalam ranah perjuangan (meski situs Panjer mungkin telah berubah menjadi kawasan Wisata dan Perhotelan).
Menyelaraskan energi spiritual makrokosmos dan mikrokosmos untuk menguatkan jiwa dan nafas kepribadian Nusantara (Pancasila) generasi muda dan warga Kebumen.
Oleh : R. Ravie Ananda, S. Pd
Sumber, Kebumen24.com
https://kebumen24.com/2024/06/08/sejarah-singkat-panjer-kebumen-dulu-kadipaten-kuno/